h1

Adzan dan Iqamah (2)

September 25, 2007


Hukum dan Pensyariatan Adzan

Adzan dan iqamah disyariatkan berdasarkan nash syariat diantaranya kisah Abdullah bin Zaid dan Umar bin Khothob sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abdullah bin Zaid diatas.

dan Ijma’ untuk sholat lima waktu. Imam Al Nawaw menyatakan: ‘Adzan dan Iqamah disyariatkan berdasarkan nash-nash syariat dan ijma’ dan tidak disyariatkan adzan dan iqamah pada selain sholat lima waktu tanpa ada perselisihan’. [1]

Awal pensyariatannya terjadi pada tahun pertama hijriyah, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Ibnu Umar yang berbunyi:

كَانَ الْمُسْلِمُونَ حِينَ قَدِمُوا الْمَدِينَةَ يَجْتَمِعُونَ فَيَتَحَيَّنُونَ الصَّلَاةَ لَيْسَ يُنَادَى لَهَا فَتَكَلَّمُوا يَوْمًا فِي ذَلِكَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ اتَّخِذُوا نَاقُوسًا مِثْلَ نَاقُوسِ النَّصَارَى وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ بُوقًا مِثْلَ قَرْنِ الْيَهُودِ فَقَالَ عُمَرُ أَوَلَا تَبْعَثُونَ رَجُلًا يُنَادِي بِالصَّلَاةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا بِلَالُ قُمْ فَنَادِ بِالصَّلَاةِ

Kaum muslimin dahulu ketika datang ke Madinah berkumpul lalu memperkira-kira waktu sholat, tanpa ada yang menyerunya, lalu mereka berbincang-bincang pada satu hari tentang hal itu. Sebagian mereka berkata, Gunakan saja lomceng seperti lomceng nashora dan sebagiannya menytakan, Gunakan saja trompet seperti terompet Yahudi. Lalu Umar menyatkan: Tidakkah kalian mengangkat seseorang untuk menyeru sholat. Lalu Rasululloh n menyatakan: Wahai Bilai bangun dan serulah untuk sholat.[2]

Imam Syaukani menyatakan : Inilah yang paling shohih dari hadits Nabi n dalam penentuan awal waktu disyariatkannya adzan[3]. Ini juga yang dirojihkan imam Ibnu Hajar.[4]

Adapun hukumnya, para ulama bersilang pendapat dalam beberapa pendapat. Yang mendekati kebenaran dari pendapat para ulama adalah pendapat yang mewajibkannya, dengan dasar hadits Malik bin Al Huwairits yang berbunyi :

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفَرٍ مِنْ قَوْمِي فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً وَكَانَ رَحِيمًا رَفِيقًا فَلَمَّا رَأَى شَوْقَنَا إِلَى أَهَالِينَا قَالَ ارْجِعُوا فَكُونُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَصَلُّوا فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ رواه البخاري

Aku mendatangi Nabi n bersama beberapa orang dari kaumku, kemudian kami tinggal disisinya selama 20 hari. Nabi n seorang yang dermawan dan sangat lemha lembut. Ketika beliau melihat kerinduan kami kepada keluarga kami, maka beliau berkata : Pulanglah kalian dan tinggallah bersam mereka dana ajarilah mereka (agama Islam) serta sholatlah kalian, apabila hadir waktu sholat, maka hendaklah salah seorang kalian beradzan dan orang yang paling dituakan mengimami sholat kalian.[5]

Demikian juga sabda Rasululloh n :

مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ لَا يُؤَذَّنُ وَلَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ رواه أحمد

Tidak ada tiga orang di satu desa yang tidak ada adzan dan tidak ditegakkan pada mereka sholat kecuali Syeitan akan memangsa mereka.[6]

Demikianlah pendapat yang dirojihkan syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syeikh Ibnu Al Utsaimin[7] dan Al Albani. Syeikh Al Albani menyatakan : Sungguh pendapat yang menyatakan adzan hanyalah sunnah jelas-jelas salah, bagaimana bisa, padahal ia termasuk syiar islam terbesar yang Nabi n jika tidak mendengarnya di negeri satu kaum yang akan beliau perangi, maka beliau perangi mereka. Jika mendengar adzan pada mereka, beliau menahan diri, sebagaimana telah diriwayatkan dalam Shohihain dan selainnya dan perintah adzan sudah ada dalam hadits shohih lainnya. Padahal hukum wajib dapat ditetapkan dengan dalil yang lebih rendah dari ini. Maka yang benar bahwa Adzan adalah fardhu kifayah, sebagaimana dirojihkan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al fatawa (1/67-68 dan 4/20), bahkan juga atas orang yang sholat sendirian.[8]

Bahkan syeikhul Islam juga menegaskan hukum ini dengan pernyataan : ‘Yang benar adalah adzan itu Fardhu kifayah’.[9]

Ibnu Hazm mengomentari permasalahan ini dengan pernyataannya : Tidak kami ketahui orang yang menyatakan tidak wajibnya adzan dan Iqamah memiliki hujjah sama sekali, seandainya Rasululloh tidak menghalalkan darah dan harta satu kaum yang beliau tidak dengan adanya adzan pada mereka tentulah cukup untuk menwajibkannya.[10]

Hukum-hukum seputar Adzan.

Ada beberapa permasalahan seputar adzan yang cukup penting diketahui, diantaranya:

1. Disunnahkan beradzan dalam keadaan berdiri. Ibnu Al Mundzir berkata: Sepakat para ulama yang saya hafal, bahwa sunnah beradzan dengan berdiri.[11] Hal ini sesuai dengan perintah Rasululloh kepada Bilal dalam hadits Abu Qatadah:

إِنَّ اللَّهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِينَ شَاءَ وَرَدَّهَا عَلَيْكُمْ حِينَ شَاءَ يَا بِلَالُ قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلَاةِ

Sesungguhnya Allah mencabut ruh-ruh kalian kapan suka dan mengembalikannya kapan suka, wahai Bilal bangun dan beradzanlah untuk sholat. (HR Al Bukhori). Demikian juga disunnahkan menghadap kiblat[12]. Syeikh Al Albani menyatakan: Telah shohih dalil menghadap kiblat dalam adzan dari malaikat yang dilihat Abdullah bin Zaid Al Anshori dalam mimpinya.[13]

2. Disunnahkan juga beradzan ditempat yang tinggi agar lebih keras dalam menyampaikan adzan[14], sebagaimana dijelaskan dalam hadits seorang wanita dari bani Najjar yang menyatakan:

كَانَ بَيْتِي مِنْ أَطْوَلِ بَيْتٍ حَوْلَ الْمَسْجِدِ وَكَانَ بِلَالٌ يُؤَذِّنُ عَلَيْهِ الْفَجْرَ

Rumahku dahuku termasuk rumah yang tertinggi disekitar masjid (nabawi) dan Bilal dulu beradzan fajar diatas rumah tersebut.(HR Abu Daud dan dihasankan Al Albani dalam Irwa’ Al Gholil hadits no. 229 hal 1/246)

3. disunnahkan muadzin memalingkan wajahnya kekanan dan kekiri pada Hayya ‘Ala Al Sholat dan Hayya ‘Ala Al Falah (Hai’alatain), berdasarkan hadits Abu Juhaifah yang berbunyi:

أَنَّهُ رَأَى بِلَالًا يُؤَذِّنُ فَجَعَلْتُ أَتَتَبَّعُ فَاهُ هَهُنَا وَهَهُنَا بِالْأَذَانِ

Bahwa beliau melihat Bilal beradzan lalu aku melihat mulutnya disana dan disini mengucapkan adzan (HR Al Bukhori) dan dalam riwayat Muslim dengan lafadz:

فَجَعَلْتُ أَتَتَبَّعُ فَاهُ هَا هُنَا وَهَا هُنَا يَقُولُ يَمِينًا وَشِمَالًا يَقُولُ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ

Lalu mulailah aku memperhatikan mulutnya diputar kesana dan kesini yaitu kekanan dan kekiri mengucapkan Hayya ‘Ala As Sholat Hayya ‘Ala Al Falah.

Imam Al Nawawi berkata: Disunnahkan memalingkan wajah dalam Hai’alatain kekanan dan kekiri. Dalam tata cara memalingkan wajah yang mustahab ada tiga tata cara yaitu :

Pertama, ini yang paling benar dan ditetapkan ahli iraq dan sejumlah ahli Khurasan (dalam madzhab Syafi’I) adalah memalingkan kekanan dan mengucapkan Hayya ‘Ala Al Sholat hayya ‘Ala Al Sholat kemudian berpaling kekiri dan mengucapkan Hayya ‘Ala Al Falah Hayya ‘Ala Al falaah.

Kedua, berpaling kekanan dan mengucapkan Hayya ‘Ala Al Sholat kemudian kembali menghadap kiblat kemudian berpaling kekanan lagi dan mengucapkan hayya ‘Ala Al Sholat kemudian berpaling kekiri dan mengucapkan Hayya ‘Ala Al Falah, lalu kembali menghadap kiblat kemudian berpaling kekiri lagi dan mengucapkan Hayya ‘Ala Al falaah.

Ketiga, ini adalah pendapat Al Qafaal yaitu mengucapkan Hayya ‘Ala Al Sholat satu kali berpaling kekanan dan satu kali berpaling kekiri kemudian mengucapkan Hayya ‘Ala Al Falah satu kali berpaling kekanan dan satu kali berpaling kekiri[15].

4. disunahkan meletakkan kedua jemarinya ditelinganya , sebagaimana ada dalam hadits Abu Juhaifah juga dengan lafadz:

رَأَيْتُ بِلَالًا يُؤَذِّنُُ وَيُتْبِعُ فَاهُ هَا هُنَا وَهَا هُنَا وَإِصْبَعَاهُ فِي أُذُنَيْهِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قُبَّةٍ لَهُ حَمْرَاءَ أُرَاهُ

Aku melihat bilal beradzan dan memutar mulutnya kesana dan kesini serta kedua jarinya di telinganya (HR Ahmad dan Al Tirmidzi dan dikatakann Al Tirmidzi bahwa hadits ini hasan shohih. Syeikh AL Albani menshohihkannya dalam Irwa’ AL Gholil no. 230 hal 1/248).

Imam Al Tirmidzi setelah menyampaikan hadits ini menyatakan: Inilah yang diamalkan para ulama, mereka mensunnahkan seorang muadzin memasukkan kedua jemarinya ke kedua telinganya dalam adzan dan sebagian ulama menyatakan juga di dalam iqamat memasukkan kedua jemarinya ke kedua telinganya, ini adalah pendapat Al ‘Auzaa’i.[16]

5. disunnahkan mengeraskan suara dalam adzan[17], berdasarkan sabda Rasululloh n :

فَإِنَّهُ لَا يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلَا إِنْسٌ وَلَا شَيْءٌ إِلَّا شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Tidaklah mendengar gema suara muadzin seorang jin dan manusia serta sesuatu kecuali memberikan kesaksian untuknya di hari kiamat. (HR Al Bukhori).

6. Hukum mendengar dan menjawab adzan dan iqamat.

Para ulama berbeda pendapat tetang hokum mendengar dan menjawab adzan dalam dua pendapat’

a. hukumnya wajib, ini adalah pendapat madzhab Al Dzohiriyah dan Ibnu Wahb. Mereka berdalil dengan hadits Abu Sa’id Al Khudri yang berbunyi :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ

Sesungguhnya Rasululloh n bersabda jika kalian mendengar adzan maka jawablah seperti yang disampaikan Muadzin. (Muttafaqun Alaihi).[18] Dalam hadits ini ada perintah menjawab adzan dan perintah pada asalnya menunjukkan wajib.

b. Hukumnya sunnah, ini adalah pendapat mayoritas ulama[19]. Mereka menyatakan bahwa hadits Abu Sa’id diatas dipalingkan dari wajib menjadi sunnah dengan hadits ‘Aisyah yang berbunyi :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَمِعَ الْمُؤَذِّنَ يَتَشَهَّدُ قَالَ وَأَنَا وَأَنَا

Sesungguhnya Rasululloh n jika mendengar muadzin membaca syahadat maka beliau berkata dan aku an aku. HR Abu daud. Dalam hadits ini Nabi n tidak menjawab adzan secara sempurna. Demikian juga berdalil dengan hadits Anas bin Malik, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُغِيرُ إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ وَكَانَ يَسْتَمِعُ الْأَذَانَ فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا أَمْسَكَ وَإِلَّا أَغَارَ فَسَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْفِطْرَةِ ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجْتَ مِنْ النَّارِ

Rasululloh n menyerang (satu kaum) ketika terbit fajar dan beliau memperhatikan adzan, apabila ia mendengar, beliau menahan dan bila tidak maka beliau menyerang. Lalu Rasululloh mendengar seseorang berkata: (اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ ) maka beliau menjawab:diatas fithroh (عَلَى الْفِطْرَةِ ) kemudian ia mengatakan: (أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ) dan Rasululloh n menjawab: engkau telah keluar dari neraka.(HR Muslim), Ibnu Hajar mengomentari hadits ini dengan menyatakan bahwa ada pada sebagiab jalan periwayatan hadits ini yang menunjukkakan hal ini ketika waktu akan sholat.[20] . hal inipun didukung oleh amalan kaum mualimin dizaman Umar sebagaimana disampaikan Tsa’labah bin Abi Malik dalam pernyataan beliau:

كَانُوْا يَتَحَدَّثُوْنَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ وَ عُمَرُ جَالِسٌ عَلَى الْمِنْبَرِ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ قَامَ عُمَرُ فَلَمْ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ

Mereka dahulu berbincang-bincang pada hari jum’at dan Umar duduk diatas mimbar. Jika muadzin selesai adzan maka umar bangun dan tak seorangpun berbicara. (HR Al Syafi’I dalam Al Um dan shohihkan Al Nawawi sebagaimana dijelaskan Albani dalam Tamamul Minnah hal. 339.) kemudian riwayat inipun di kuatkan dengan riwayat yang dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shohih dengan lafadz:

أَدْرَكْتُ عُمَرَ وَ عُثْمَانَ فَكَانَ الإِمَامُ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ تَرَكْنَا الصَّلاَةَ فَإِذَا تَكَلَّمنَا تَرَكْنَا الْكَلاَمَ

Aku menjumpai Umar dan Utsman, seorang imam bila keluar (menuju Masjid)maka kami meninggalkan sholat dan bila berbicara (berkhutbah) maka kami meninggalkan perbincangan. (HR Ibnu Abi Syaibah dan dishohihkan Al Albani dalam Tamam Al minnah hal 340.

Pendapat inilah yang dirojihkan syeikh Al Albani[21] dan Syeikh Masyhur Salman, sehingga syeikh Al Albani menyatakan: dalam atsar ini ada dalil yang menunjukkan tidak wajibnya menjawab (seruan) muadzin karena di zaman Umar terjadi amalan berbincang-bincang ketika adzan dan umar diam. Banyak sekali saya ditanya tentang dalil yang memalingkan perintah yang menunjukkan kewajiban menjawab adzan? Maka saya menjawab dengan atsar ini.

Demikian juga iqamat sama hukumnya dengan adzan dalam hal ini, sebagaimana dinyatakan Al Lajnah Al Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta (komite tetap untuk penelitian islam dan fatwa Saudi Arabia) dalam pernyataan mereka yang berbunyi: Termasuk sunnah seorang yang mendengar iqamat menjawab seperti ucapan muqiem (orang yang beriqamah), karena iqamat adalah adzan kedua sehingga dijawab seperti adzan dijawab.[22]

Wallahu A’lam

7. Menjawab adzan dalam keadaan sholat.

Berdasarkan hokum diatas, maka muncullah permasalan lainnya yaitu bagaimana hokum seorang yang sedang sholat mendengar adzan, apakah menjawabnya ataukah tidak? Dalam hal ini terdapat tiga pendapat ulama:

a. wajib menjawab adzan walaupun dalam sholatkecuali ucapan Hayya ‘Ala Al Sholat dan Hayya ‘Ala Al Falah (Hai’alatain). Inilah pendapat madzhab Al Dzohiriyah dan Ibnu Hazm.

Ibnu Hazm berkata: Barang siapa mendengar Muadzin maka jawablah sebagaimana yang diucapkan muadzin sama persis dari awal adzan sampai akhirnya dan baik ia berada diluar sholat atau dalam sholat, baik sholat wajib atau sunnah. Kecuali Hayya ‘Ala Al Sholat dan Hayya ‘Ala Al Falah (Hai’alatain) maka tidak diucapkan dalam sholat dan diucapkan diluar sholat.

Mereka berdalil dengan hadits Abdullah bin Amru dan Abu Sa’id Al Khudri yang berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ

Sesungguhnya Rasululloh n bersabda jika kalian mendengar adzan maka jawablah seperti yang disampaikan Muadzin. (Muttafaqun Alaihi). Lalu nabi n tidak mengkhusukan hal itu dalam sholat atau diluar. Sedangkan Hai’latain merupakan ucapan manusia yang mengajak kepada sholat dan adzan seluruhnya dzikir dan sholat adalah tempat berdzikir.[23]

b. Tidak menjawab adzan bila dalam keadaan sholat. Ini adalah pendapat Mayoritas ulama (jumhur) berdalil hadits Abdullah bin Mas’ud yang berbunyi:

كُنَّا نُسَلِّمُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ فَيَرُدُّ عَلَيْنَا فَلَمَّا رَجَعْنَا مِنْ عِنْدِ النَّجَاشِيِّ سَلَّمْنَا عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْنَا وَقَالَ إِنَّ فِي الصَّلَاةِ شُغْلًا

Kami dahulu memberikan salam kepada Nabi n dalam keadan beliau sholat dan beliau membalasnya, ketika kami kembali dari negeri najasie, kami memberi salam kepada beliau dan tidak menjawab salam kami dan berkata: Sesungguhnya dalam sholat adalah satu kesibukan. (muttafaqun ‘Alaihi)

Hadits ini menurut jumhur menunjukkan makruhnya menjawab salam yang hukumnya wajib, lalu bagaimana dengan adzan yang hokum menjawabnya saja sunnah. Apalagi dalam sholat seseorang sudah sibuk bermunajah kepada Allah dan menjawab adzan dapat merusak kekhusuan tersebut.

c. Menjawab adzan pada sholat sunnah dan tidak menjawab dalam sholat fardhu. Ini adlaah salah satu pendapat dalam madzhab Malikiyah.

Penulis cenderung menguatkan pendapat jumhur dalam hal ini, berdasarkan sunahnya menjawab adzan yang telah dikemukan diatas. Wallahu ‘A’lam.

8. disyariatkan membaca sholawat dan doa setelah adzan yang telah diajarkan nabi n dalam hadits Abdullah bin Amru yang berbunyi:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِي الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لَا تَنْبَغِي إِلَّا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ

Dari Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash, beliau mendengar Nabi n bersabda: Jika kalian mendengar muadzin maka jawablah seperti apa yang ia katakan, kemudian bersholawatlah untukku, karena siapa yang bersholaweat untukku maka Allah akan bersholawat untuknya sepuluh kali. Kemudian mintakanlah kepada Allah untukku Al Wasilah, karena ia adalah satu kedudukan di syurga yang tidak sepatutnya kecuali untuk seorang hamba Allah dan aku berharap akulah ia. Maka siapa yang ,\memohonkan untukku Al Wasilah maka akan mendapat syafaatku. (HR Muslim).

Permohonan wasilah ini dicontohkan dalam hadits Jabir yang berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Sungguh Rasululloh n bersabda: Siapa yang mengatakan ketika (selesai) mendengar adzan :

اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ

Maka mendapatkan syafaatku di hari kiamat. (HR Al Bukhori).

Demikianlah sebagian hokum-hukum seputar adzan dan Iqamat, disampaikan secara ringkas, mudah-mudahan bermanfaat.

Referensi

  1. Ghauts Al Makdud Bi Takhrij Muntaqa Ibnu Al Jaarud, Abu Ishaaq Al Huwaini cetakan kedua tahun 1414 H daar Al Kitab Al Arabi
  2. Syarhu Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, Tahqiq DR. Sulaiman bin Abdillah Aba Khoil dan DR. Kholid bin Ali l Musyaiqih. Cetakan pertama tahun 1415H, Muassasah Aasaam, KSA
  3. Majmu’ Syarhu Al Muhadzdzab, Imam Al Nawawi, Tahqiq Muhammad Najieb Al Muthi’ie, cetakan tahun 1415H Daar Ihyaa’ Al Turats Al ‘Arabi, baerut
  4. Fathul Bari Syarah Shohih Al Bukhori, Al Haafidz Ibnu Hajar, Maktabah Al Salafiyah
  5. Nail Al Authar Min Al Ahadits Sayyid Al Akhyaar Syarhu Muntaqa Al Akhbaar, Muhammad bin Ali Al Syaukani, tahqiq Muhammad Saalim Haasyim, cetakan pertama tahun 1415H, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Baerut
  6. Tamaam Al Minnah Fi Ta’lieq ‘Ala Fiqhi As Sunnah, Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, cetakan ketiga tahun 1409 H, Dar Royah, Riyadh, KSA
  7. Irwa’ Al Gholil Fi Takhrij Ahadits Manaaru Al Sabil, Muhammad Nashiruddin Al Albani, cetakan kedua tahun 1405 H, Al Maktab Al Islami, Bairut.
  8. Fiqhu Sunnah, Sayyid Saabiq, cetakan tahun 1416 H, penerbit Al fath Li I’lam Al Arabi, Kairo dan Syarikat Manar Al daulah, USA
  9. Majmu’ Al fatawa, Ibnu Taimiyah, tahqiq Abdurrahman bin Muhammad bin Al Qasim, tanpa tahun cetakan dan penerbit
  10. Al I’lam Bi Fawaaid Umdat AL Ahkaam, Ibnu Al Mulaqqin, Tahqiq Abdulaziz Ahmad Al Musyaiqih, cetakan pertama 1417H, dar Al ‘Ashimah KSA.
  11. Al Muhalla, Ibnu Hazm, tahqiq Ahmad Syakir, maktabah Dar Al Turats, kairo
  12. Fatawa Al Lajnah Al Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta, disusun oleh Syeikh Ahmad Abdurrazaq Al Duwaes cetakan pertama tahun 1416 H
  13. Jami’ Al Tirmidzi (Sunan Al Tirmidzi), Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, bairut


[1] Majmu’ Syarhu Al Muhadzdzab, Imam Al Nawawi, Tahqiq Muhammad Najieb Al Muthi’ie, cetakan tahun 1415H Daar Ihyaa’ Al Turats Al ‘Arabi, baerut 3/83

[2] HR Al Bukhori dalam shohihnya kitab Al Adzaan bab Bad’u Al Adzan no. 604Muslim kitab AL Masajid bab Man Ahaqqu Bil Imamah no. 674.

[3] Nail Al Authar Min Al Ahadits Sayyid Al Akhyaar Syarhu Muntaqa Al Akhbaar, Muhammad bin Ali Al Syaukani, tahqiq Muhammad Saalim Haasyim, cetakan pertama tahun 1415H, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Baerut hal 2/32.

[4] Lihat Fathul Bari Syarah Shohih Al Bukhori, op.cit hal 2/78

[5] HR Al Bukhori dalam Shohihnya, Kitab Al Adzaan

[6] Ahmad no. 20719

[7] syarhu AL Mumti’ op.cit hal 2/37

[8] Tamaam Al Minnah Fi Ta’lieq ‘Ala Fiqhi As Sunnah, Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, cetakan ketiga tahun 1409 H, Dar Royah, Riyadh, KSA hal 144

[9] Majmu’ Al fatawa, Ibnu Taimiyah, tahqiq Abdurrahman bin Muhammad bin Al Qasim, tanpa tahun cetakan dan penerbit. Hal 22/64.

[10] Al Muhalla, Ibnu Hazm, tahqiq Ahmad Syakir, maktabah Dar Al Turats, kairo hal. 3/125

[11] Dinukil Ibnu Qudamah dalam Al Mughni op.cit 2/82.

[12] Lihat Al Majmu’ op.cit 3/114

[13] Irwa’ AL Gholil op.cit 1/250 dan lihat haditsnya pada hadits no. 246 dalam Irwa’ 1/264-265.

[14] Al Mughni op.cit 2/83.

[15] Al Majmu’ op.cit hal 3/115.

[16] Jami’ Al Tirmidzi (Sunan Al Tirmidzi), Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, bairut 1/377.

[17] Al Mughni op.cit 2/72

[18] lihat Al Muhalla op.cit 3/148.

[19] Lihat Al Majmu’ op.cit 3/127.

[20] Fathul bari op.cit 2/93.

[21] Tamamul Minnah op.cit hal 340

[22] Fatawa Al Lajnah Al Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta, disusun oleh Syeikh Ahmad Abdurrazaq Al Duwaes cetakan pertama tahun 1416 H hal 6/89 dan 90

[23] lihat Al Muhalla op.cit hal 3/147

Satu komentar

  1. Assalau’alaikum. Wr. Wb.
    Salam kenal dari ana, alhamdulillah dalam pencarian sumber referensi untuk penulisan skripsi bagi tunangan ana, ana menemukan blog antum yang kiranya dapat menanmbah wawasan ana juga. Kalau antum bersedia berdiskusi atau membantu ana dalam penulisan skripsi twersebut ana ucapkan terima kasih.
    Muchamad Fauzan. Batang-Jawa Tengah.



Tinggalkan Balasan ke Fauzan Batalkan balasan